Wawancara Fokus Bahasa Indonesia edisi hari ini, dengan Radio Timor Leste
Profile Menteri Kesehatan Republik Demokratik Timor Leste
Rabu, 21 September 2011, jam 7.40
“Posisi akan datang dan pergi namun teman dan keluarga akan ada selamanya” Nelson Martins.
Nelson Martins (NM): Belajar itu adalah suatu perjuangan, hidup adalah perjuangan. Ada filsafat yang sangat bagus dari orang Indian (bangsa APACHE), “ Pada suatu saat seorang anak bertanya kepada bapaknya..! Bapak, jika suatu saat kamu meninggal siapakah sahabat sejati saya ” Sang Ayah menjawab “ Anakku, didunia ini tidak ada sahabat sejati bahkan ibupun bukan sahabat sejatimu. Sahabat sejatimu adalah tanganmu, kakimu, rambutmu, mulutmu, matamu. Berbuatlah sesuatu dengan semua yang kau miliki. Gunakanlah semua yang kamu miliki untuk terus berjuang dan bertahan di dunia ini.
Saudara itulah Filsafat yang dipegang teguh oleh Nelson Martins selama memperjuangkan hidupnya hingga menjadi seorang Menteri Kesehatan.
Nelson Martins lahir di Vila verde Dili, tanggal 11 Agustus 1970, ia adalah keturunan dari Viqueque, Baucau dan Ermera. Nelson Martins mengawali perjuangannya dari Sekolah Dasar SD Negeri III Bidau, dan Sekolah Menengah Pertama SMP Negeri III Becora Dili, cita-cita Nelson Martins baru nampak ketika Ia memasuki Sekolah Menengah Atas SMA Negeri I Dili dan mengambil jurusan fisika. Meskipun telah di tinggal sang Ayah namun berkat perjuanganya dan dukungan keluarga Ia kemudian mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di Universitas Padjajaran Bandung, Indonesia, ambil jurusan fakultas kedokteran umum.
NM: Saat tamat SMA, saya mendapat nilai (NEM) dari jurusan A1 yang cukup bagus, tapi saya gagal di sipenmaru untuk mengambil jurusan Arsitek. Sempat putus asa, namun tak lama Almarhumah Paman saya perawat Domingos Carvalho, berkunjung ke rumah dan beliau mengatakan “ kenapa engak ikut tes UMPTN ambil jurusan kedokteran” , saya menjawab “ ya paman, saya coba”. Ternyata pada saat hasil tes UMPTN diumumkan, saya lulus masuk di Fakultas Kedokteran di Universitas Padjajaran Badung , Jawa Barat. Karena semenjak tahun 1987 sudah masuk dalam jaringan Klandestina dan sering terlibat ativitas pro-kemerdekaan maka pada tahun 1991, tepatnya tanggal 19 November 1991 saya ditangkap bersama teman –teman (sekitar 70 0rang) Mahasiswa Timor Leste belajar di Indonesia saat melakukan demonstrasi di Jakarta menentang masakre 12 November 1991.
Pada saat itu saya sudah sempat berpikir bahwa cita-cita untuk jadi dokter sudah habis, karena saat itu kita tidak bisa prediksi nasib kita ke depan. Namun, setelah melalui semua proses interogasi akhirnya saya bebas dan kembali ke bangku kuliah. Saya sangat bersyukur karena dosen dan almamater UNPAD masih bersedia menerima saya untuk melanjutkan kuliah. Namun, pada saat itu hidup sangat sulit karena PEMDA TIMOR_TIMUR menghentikan beasiswa. Pada saat itulah kisah survival kami semua bekas tahanan (Aksi demonstrasi 19 November 1991 di Jakarta) menjadi suatu pengalaman berharga dan telah menjadi kisah sengsara penuh perjuangan dalam liku-liku kehidupan pribadi kami masing-masing. Kami berusaha bertahan dengan apa saja termasuk menggandalkan bantuan teman, saling membantu, dan sambil melakukan usaha kecil-kecilan termasuk jual Koran, botol bekas , beras sampai bekerja di lembaga sosial .
Meski dengan semua kesulitan yang kami lewati, kami tetap mementingkan perkuliahan dan pada tahun 1994 saya sudah hampir menyelesaikan kuliah pre-klinik dan mulai melakukan rotasi perkenalan di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung. Tanpa menduga sebelumnya, suatu sore waktu berjalan dari kost ke tempat angkutan umum saya kembali ditangkap. Penangkapan kali ini sangat berat dan sempat menggangu proses perkuliahan karena saya sempat kabur dan menyembunyikan diri selama satu bulan. Saat itu, saya sempat pasrah dan mengatakan kediri saya sendiri untuk tidak perlu melanjutkan sekolah. Saya sempat ditawar untuk kabur keluar negeri tapi akhirnya saya memilih untuk kembali ke bangku kuliah dan diterima kembali dengan baik oleh Dekan dan Fakultas Kedokteran UNPAD. Saya, sangat bersyukur dan berterima kasih untuk Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran terutama para dosen dan teman-teman yang terus-menerus mengajari saya untuk menjadi dokter yang baik.
Puji Tuhan, berkat semua anugerahNya saya berhasil menamatkan perkuliahan dan meraih gelar dokter umum pada bulan Maret 1998. Tapi karena sudah masuk garis merah ( lista mean) maka saya tidak berpikir lagi untuk melamar bekerja di pegawai negeri. Saya sempat bergabung dengan LSM internasional bekerja di luar negeri, bergabung dengan lembaga untuk anak-anak jalanan dan menjadi dokter sukarelawan untuk mereka. Pekerjaan tersebut sempat mengantar saya melayani di Philipina, Malaysia, Vietnam, Kambodia, Thailand dan kembali ke Indonesia pada bulan Maret 1998.
Pada bulan Agustus 1998 saya kembadli ke Timor Leste untuk menenggok ibu dan keluarga. Saat itulah karir saya mulai berubah dari seorang dokter umum menjadi dokter khusus untuk mengobati dan mengontrol penyakit TBC. Saya melamar menjadi dokter untuk bekerja di klinik Motael dan menjadi coordinator unit kesehatan di Caritas East Timor. Pekerjaan utama kami adalah mengembangkan program TBC di seluruh klinik Katolik di Timor Leste. Tapi pada saat yang sama saya juga menjabat sebagai koordinator kesehatan di Frente Politik Interna-l CNRT dengan tugas khusus mengkoordinir aktivitas kesehatan untuk membantu masyarakt dan memobilisir bantuan obat-obatan dan tenaga medis dan para medis untuk membantu memberi pelayanan kepada masyarakat baik dikota maupun di hutan termasuk mengorganisir obat-obatan untuk membantu teman-teman kita para Falintil .
Walaupun dengan berbagai hambatan, namun Suami dari Ana Aparicio itu behasil menggapai gelar Dokter, keberuntungan nampaknya selalu berpihak pada ayah dari dua orang anak ini. Setelah kemerdekaan, Nelson Martins kembali memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya hingga kejenjang S3 di Australia.
NM: Pada tahun 2000, saya terseleksi untuk melanjutkan studi di Australia dengan bantuan AUSAID, dan teman-teman saya, termasuk Menteri/ Ministro Pedro Lay, melanjutkan sekolah disana, saya ambil jurusan di Manejemen Kesehatan, di Universitas New Castle di Australia, New south Wales. Setelah selesai mendapat gelar Master di bidang kesehatan, saya kembali ke Timor Leste. Tapi, tidak bergabung dengan Pemerintah. Saya kembali bekerja di Motael Klinik memberikan pelayanan sebagai Dokter biasa untuk terus membantu pasien penyakit TBC . Pada tahun 2003 saya kembali mendapat beasiswa untuk memperdalam ilmu saya di bidang TBC. Saya mengambil PhD (S3) di bidang program pengontrolan penyakit TBC, di Menzies School Health Research, Northtern Territory, Australia. Tiga tahun kemudian tepatnya November 2006 saya menyelesaikan S3 (PhD ). Termasuk keahlian yang agak jarang di wilayah Asia-Pasifik ASEAN untuk seorang medis dengan gelar S3 dibidang TBC. Tahun 2007, saya kembali mendapat Award (penghargaan) “ International Dean Post-Doctoral Award” dari Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas New South Wales University, Australia, untuk periode 2 tahun. Tapi baru sempat melanjutkan satu tahun, pemerintahan baru yang dipimpin oleh yang mulia Perdana Menteri Dr. Kay Rala Xanana Gusmao mengundang saya untuk bergabung.
Para Pendengar selama menjabat sebagai Menteri Kesehatan, Nelson Martins, tidak hanya berhenti disitu namun tetap menggunakan kesempatan yang ada untuk terus menulis artikel-artikel ilmiah dan membimbing mahasiswa sampai ke Doctoral (S3). Iapun menggunakan kesempatan itu untuk mengimpelementasikan ilmu yang di perolehnya dengan menerapkan berbagai strategi guna mengembangkan kesehatan masyrakat Timor Leste. Diantaranya melalui program SISCa dan program lainnya. Nah berkat semua itu, baru-baru ini, Ia kemudian dianugerahi gelar Profesor oleh Universitas Sydney Australia, Tapi saudara siapa yag sangka kalau di balik keberhasilan yang diperoleh Nelson Martins saat ini ada suka duka yang menyedihkan, Ia ternyata pernah mengalami masa-masa sulit selama melanjutkan pendidikannya, bahkan, Ia pernah diberitakan sebagai penjual koran.
NM: Semenjak kecil, Bapak sudah meninggal karena krisis tujuh lima, Ibu sendiri, dan Ibu adalah Guru SD, bagaimana mungkin ya, kesulitan yang saya alami lebih sulit waktu saya melanjutkan pendidikan walaupun mendapat beasiswa tapi karena saya dtangkap dan beasiswa stop. Jadi apa yang saya lakukan disitu bagaimana supaya bisa survive sajalah. Saya punya teman-teman yang sekarang masih disini , …. Kita tinggal sama-sama, kadang-kadang enggak makan, tapi tetap belajar , ada cerita sampai Dili, waktu saya kembali ke Timor Leste, ada sebuah Koran memberitakan di “headline di Koran namanya Nova kalau engga salah,” seperti Dr. Nelson dokter yang pernah berjualan Koran…” saat ada komentar kontra-versi tentang berita tersebut… ada yang bilang… penjual Koran saja bisa jadi dokter…., ada juga yang beri komentar baik. ..
Memang, ada benarnya…, saat itu keadaan sangat sulit dan kita harus bertahan hidup dan tidak ada salahnya menjual kembali koran bekas yang pernah kita baca. Itulah adalah salah satu cara survival kita, bahkan untuk survive kita harus bekerja keras, itu sangat penting. Prinsip bekerja keras dan hidup independen sempat kita kembangkan di Mataduro pada tahun 1994 dengan terbentuknya kelompok SAMFRUS “ Biar miskin dan cuman pakai celana sobek, tapi jika itu adalah hasil jeri payahmu dan bukan pemberian orang-tuamu maka kamu harus bangga dengan semua yang kamu miliki itu. Pernah dengar ya, bairo samfrus, kata lainnya samfrus itu adalah suatu spirit yang kita kembangkan pada tahun 1994 waktu saya kembali, karena memang kita sangat susah ya untuk beli celana sama t-shirt, waktu itu lagi trend ya kita pakai celana robek-robek. Saat itu saya dikatain “ Mahasiswa “Samfradu- Frustadu” karena pakai celana sobek dan rambut gondrong. Namun saya menjawab, bukannya saya tidak mau pakai celana utuh, tapi cuman celana itu yang saya miliki dan saya beli dengan hasil kerja sendiri. Semenjak itu spirit untuk hidup independen atau mandiri sudah mulai tumbuh dihati adik-adik yang tinggal di Mata-douro.
Wow, ternyata dibalik semua kesuksesan itu, Nelson Martins, memiliki sejumlah hobi yang juga bisa dikatakan memberi kontribusi bagi keberhasilannya, hobi tersebut adalah menulis, nah bagaimana Ia bisa membagi waktunya untuk hobi, profesi dan keluarga?
NM: Sebagai Manusia kadang-kadang kita harus mengatur waktu kita, mungkin, misalnya hobi kita mungkin kita kurangi, saya orang yang engga terlalu suka pesta, jadi, dari pada pergi ke pesta saya lebih baik menulis, tapi mungkin belum tentu baik untuk orang lain, saya suka olah raga, kalau pada saat orang lain suka relaks sambil bercerita, saya lebih suka baca buku, atau nulis, jadi sebenarnya waktu yang kita gunakan untuk kerja harus benar-benar bekerja, dalam setiap intervensi saya selalu sempatkan untuk menulis , dalam menulis saya selalu mengutamakan menulis keputusan kita ambil, trus masukan kita terima selama memimpin pertemuan atau hasil diskusi, itu, dengan sendirinya membuat pekerjaan kita jadi ringan, karena kita bisa instrospeksi “ apa keputusan kita baik atau tidak”. Dan setelah menulis saya juga mencoba untuk menulis yang baik , jangan cuma menulis, menulis harus jujur dan harus di susun sedemikian rupa supaya hasil tulisan tersebut bisa dipublikasikan. Saya juga dulu pernah kerja malam di Rumah Sakit, saya sulit sekali tidur di malam hari, paling-paling jam dua belas dan hampir jam satu baru bisa tidur, jadi pada jam sembilan sampai jam dua belas saya gunakan kesempatan itu untuk nulis. Namun, selama menjabat sebagai Menteri, yaitu fokus kita yah dipemerintahan , dan menulis dan membimbing harus menjadi ativitas adalah ekstra.
Para pendengar, jejak Nelson Martins patut dicontohi oleh generasi bangsa, meskipun telah memiliki gelar dan posisi yang baik, namun ia tetap rendah hati karena menurutnya posisi akan datang dan pergi namun teman dan keluarga adalah selamanya, kerendahan hati itu juga ditunjukkan dengan tetap membantu sang isteri, Ana Aparicio untuk melakukan aktifitas rumah tangga.
NM: Kadang-kadang dalam bekerja apalagi sebagai Menteri, kebanyakan orang lihat baiknya saja, pressure- nya; jeleknya engga, tapi sebagai Menteri, sebagai leader politik sebagai pemimpin kita harus membuat keputusan , keputusan itu kadang menyenangkan orang dan kadang tidak, karena staff kita sendiri yang lebih banyak merasakan baik dan buruknya efeknya dari keputusan kita. Kadang, itu juga dibawa ke pikiran kita sendiri. Pada saat kita mengalami masalah-masalah seperti itu kita perlu dukungan keluarga, selama ini keluarga dibilang isteri sangat mendukung tetapi keluarga seperti kakak, adik dan sanak family juga sangat perlu. Saya punya family yang sangat besar dari Ermera , Dili itu keluarga besar sekali, di Viqueque dan pada saat acara apa saja kita bertemu kita selalu ngomong, karena memang kita tidak boleh sombong ya, jabatan datang dan pergi yang penting kita harus mempunyai teman. Walaupun kita jadi Menteri atau apa, teman-teman kita tetap teman. Terus di rumah ya tetap di rumah, kalau sudah sampai dirumah anda bukan lagi Menteri, saya selalu bilang bahwa isteri saya adalah Panglima, karena kadang-kadang saya sampai dirumah bisa menyapu, karena itu sangat baik ya, dibilangnya Menteri engga boleh menyapu lantai, itu tidak boleh, bagus, itu aktifitas sangat bagus, saya suka, kadang-kadang harus membersihkan kamar sendiri, jadi saling membantu kaya gitu, selama ini isteri memilih untuk menjaga anak-anak dan membantu di rumah untuk mensuport makanya beliau tidak bekerja, tapi mungkin suatu saat nanti setelah selesai ya saya yang di rumah beliau mungkin yang bekerja lagi.
Saudara pendengar, benar apa kata Nelson Martins bahwa hidup adalah perjuangan selagi kita mau berjuang, maka keberhasilan tentu akan datang, tapi, perjuangan itupun harus berawal dari diri kita sendiri, sebagaimana filsafat dari orang Indian yang disampaikan Nelson Martins pada awal focus tadi, bahwa Ibupun bukan sahabat sejatimu, sahabat sejatimu adalah tangan, mata , kaki, mulut dan semua yang kamu miliki, jadi gunakan semua itu maka kamu pasti bisa. Sekian focus bahasa Indonesia edisi hari ini saya, Bela Cortereal melaporkan.